Aturan 72 dalam Investasi. Dalam artikel Enaknya Jadi Pengusaha lalu, saya menuliskan tentang nikmatnya hidup sebagai pengusaha. Berbeda dengan mereka yang bekerja, penghasilan bersih seorang pengusaha dapat benar-benar menjadi tambahan bersih kekayaannya. Ini karena semua pengeluaran diri dan keluarganya sudah dibayarkan perusahaan alias dicatat sebagai biaya perusahaan. Praktik ini sangat lazim dilakukan pengusaha dengan satu atau lebih perusahaan yang dimilikinya.
Para pemilik yayasan yang mengelola rumah sakit, sekolah, dan perguruan tinggi favorit juga melakukan hal yang sama. Pemerintah boleh saja mengatur laba atau surplus yayasan tidak dapat ditarik oleh pemilik yayasan. Laba atau dana lebih itu boleh saja tidak dapat diambil pendiri dan pemilik yayasan. Tetapi, semua biaya keluarga pemilik dan pengelola yayasan seperti pembelian kendaraan dan biaya pemeliharaannya, bahan bakar, gaji supir, gaji pembantu, biaya perjalanan ke luar negeri, dan gaji anggota keluarga sebagai pengurus yayasan sangat mungkin sudah dibebankan ke yayasan. Bukankah yang berkuasa menentukan siapa yang digaji dan besarannya serta pengeluaran lainnya adalah pendiri atau pemilik yayasan.
Karena tidak ada beban finansial, orang-orang kaya kelas pertama ini sangat menikmati hidupnya. Meskipun mereka sudah dipajaki dan setiap harinya turun-naik mobil mewah dengan pakaian perlente, makan di restoran mahal, serta kerap bepergian ke luar negeri, kekayaannya terus bertambah. Bahkan semakin cepat pertumbuhannya.
Indahnya bebas finansial
Di bawah para pengusaha dan pemilik yayasan yang mengelola usaha sangat komersial, yang juga hidupnya senang adalah para orang kaya dengan aset riil dan finansial produktif yang melimpah. Yang masuk dalam kelompok aset produktif yang saya maksud adalah properti dan vila yang disewakan, bisnis usaha yang sudah berjalan lancar, saham, obligasi, reksa dana, deposito, dan ETF. Inilah orang-orang kaya kelas dua yang telah mencapai kebebasan finansial.
Yang tidak termasuk aset produktif dalam kamus saya adalah properti yang tidak memberikan penghasilan yaitu vila, rumah kediaman, rumah kedua dan ketiga yang tidak disewakan, dan kendaraan yang kita miliki. Jika Anda menganggap aset-aset tersebut produktif, Anda kurang cerdas. Selama sebuah aset tidak menghasilkan kas untuk Anda apalagi sampai menguras saku Anda, aset itu tidak produktif.
Berapa besar aset produktif yang harus dimiliki seseorang agar bebas finansial adalah sangat relatif yaitu tergantung pada gaya hidupnya. Seorang dengan pengeluaran bulanan kurang dari Rp10 juta cukup mempunyai aset likuid Rp2 miliar. Dengan dana sebesar ini dan hanya mengenal produk investasi deposito pun, dia akan dapat memenuhi kebutuhan rutin bulanannya dari bunga depositonya. Belanja kebutuhan sehari-hari, biaya bahan bakar mobil, gaji supir, gaji pembantu, semuanya dapat ditutupi dari pendapatan bunga. Namun, kas sebesar itu tidak cukup untuk keluarga dengan pengeluaran rutin bulanan Rp30 juta.
Baca juga: Matematika Keuangan, edisi 4 revisi
Untuk investor yang tidak paham dunia keuangan dan investasi, memperoleh return bulanan 0,5% sudah memuaskan. Tidak demikian dengan yang melek finansial yang mungkin akan mensyaratkan return 1% per bulan sebagai sesuatu yang wajar. Terakhir, yang cerdas finansial atau lihai sebagai investor, mentargetkan return sebesar 20% per tahun tidak dirasakannya sebagai sesuatu yang sulit atau terlalu muluk. Perbedaan return tahunan sebesar 14% ini dalam jangka pendek kelihatannya tidak seberapa dan kurang memikat para deposan bank. Akan tetapi, dengan menggunakan konsep bunga majemuk dan bukan bunga sederhana, selisihnya dalam jangka panjang dapat membuat Anda tercengang.
Menggunakan aturan 72, kekayaan atau portofolio seseorang akan meningkat dua kali dalam 12 tahun jika return tahunan hanya 6%. Waktu yang diperlukan menjadi 9 tahun untuk return 8% p.a., 8 tahun untuk 9%, dan 6 tahun untuk 12%. Waktunya menjadi hanya 4 tahun jika return 18% dan 3,6 tahun pada return 20% p.a.
Return tahunan kuncinya
Ini berarti, seseorang dengan return tahunan 18% dan bermodal Rp100 juta, akan mampu menjadikannya Rp200 juta dalam 4 tahun, Rp400 juta dalam 8 tahun, dan Rp800 juta setelah 12 tahun. Bandingkan dengan investor deposito-minded yang portofolionya bertumbuh 6% p.a. Jumlah uang yang sama, yaitu Rp100 juta, hanya akan menjadi Rp200 juta dalam 12 tahun. Selisih Rp600 juta ini disebut efek compounding.
Baca juga: Bansos Rp 24 T Dinilai Tak Cukup Jaga Daya Beli Kalau Harga BBM Naik
Perbedaan ini tentunya lebih besar lagi jika return tahunan yang diperoleh adalah 20%. Kita memerlukan cukup 10,8 tahun (3 x 3,6 tahun) untuk mewujudkan Rp100 juta menjadi Rp800 juta. Setelah 12 tahun atau 1,2 tahun kemudian, uang Rp800 juta akan menjadi hampir Rp1 miliar, tepatnya Rp996 juta. Inilah sebabnya saya berani menuliskan kalau menjadi miliarder itu mudah jika investasi kita mampu memberikan return tahunan 20% secara konsisten.
Dengan perbedaan sekitar Rp800 juta dalam 12 tahun dari investasi saham dan deposito, sangat disayangkan jika Anda masih belum terdorong untuk mencoba saham dan produk pasar modal. Sadarlah jika return 12% p.a. apalagi 20% p.a. itu tidak tersedia di produk perbankan tetapi mudah ditemukan di pasar modal.
Buat saya sekedar menjadi miliarder dalam rupiah sejak awal bukan tantangan karena Rp1 miliar hanya ekuivalen dengan 110 ribu dolar. Sejak beberapa tahun lalu, saya sudah mengganti keinginan saya dari menjadi miliarder (rupiah) menjadi cukup seorang jutawan tetapi dalam dolar AS. Jumlah jutawan dalam dolar AS itu saat ini di Indonesia hanya sekitar 30.000 orang dan akan meningkat menjadi seratus ribu orang lebih dalam beberapa tahun ke depan. Doakan saya dapat mewujudkannya dalam 5 tahun ke depan untuk skenario optimis atau dalam 10 tahun untuk skenario pesimis. Walaupun hanya seorang pegawai negeri sipil, saya berpeluang untuk mewujudkannya karena menguasai ilmu yang sangat menunjang pertumbuhan portofolio saya yaitu investasi, keuangan, dan matematika.
[…] Baca juga: Aturan 72 Dalam Investasi […]
[…] Baca juga: Aturan 72 Dalam Investasi […]